ARTIKEL
Menurut MacLean, seorang ahli neurologi mantan direktur dari
Laboratory of the Brain and Behavior pada United States National Institute of
Mental Health, otak berbagai spesies mengalami evolusi panjang. Otak manusia
merupakan hasil evolusi terakhir yang paling canggih.
Berdasarkan penelitan yang panjang, MacLean (1990)
mengajukan sebuah konsep yang diberi nama The Triune Brain (Tiga Serangkai
Otak). Teori ini mulai dikembangkan pada tahun 1954 dan terus berkembang
berdasarkan berbagai penelitian sampai akhir hayatnya. Menurut MacLean (1990),
otak berevolusi dalam tiga periode besar dan evolusi ini membentuk tiga
lapisan. Lapisan yang paling tua dikenal sebagai R-complex, lapisan kedua
disebut Limbic System, dan yang terakhir Neocortex. Masing-masing lapisan memiliki
karakter dan fungsi yang berbeda-beda namun saling berhubungan dan bekerjasama
dalam menentukan perilaku yang akan ditampilkan oleh individu.
R-complex meliputi bagian atas batang otak dan cerebellum
merupakan otak yang tertua. Pada reptilia otak inilah yang paling dominan. Oleh
karena itu, otak ini juga disebut sebagai Otak Reptil. Lapisan Otak Reptil ini
yang bertanggungjawab pada pola perilaku bawaan yang penting untuk
kelangsung¬an hidup diri maupun spesies. Fungsinya antara lain adalah
mengendalikan semua gerakan involunter dari jantung, peredaran darah,
reproduksi dan sebagainya yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup makhluk
tersebut maupun spesiesnya. Sebagai contoh betapa vitalnya otak reptil pada
kehidupan manusia dapat dilihat dari perintahnya pada jantung untuk bergerak.
Atas perintah dari bagian otak ini jantung berdenyut mengedarkan darah ke
seluruh tubuh dan kembali ke jantung. Bisa dibayangkan jika otak memerintahkan
jantung untuk beristirahat beberapa saat, maka oksigen dan nutrisi yang dibawa
melalui darah tidak akan dapat didistribusikan ke seluruh organ dan sel dalam
tubuh, termasuk otak yang membutuhkan dua unsur sumber asupan penting
tersebut. Orang yang mengalami gagal jantung karena jantungnya tidak berdenyut
lebih dari 5 menit secara medis diperkirakan akan menyebabkan kehilangan
kesadaran dan pernafasan berhenti karena kekurangan asupan oksigen ke otak.
Bila dibiarkan dalam waktu cukup lama akan terjadi kerusakan jaringan otak
(brain damage). Memang ada beberapa kasus khusus seperti yang terjadi baru-baru
ini dimana seorang pemain sepak bola profesional Inggris bernama Fabrice Muamba
mengalami gagal jantung selama 78 menit. Muamba selamat karena penanganan
seksama dari tim medis mulai dari lapangan bola hingga di rumah sakit.
Kerusakan pada bagian otak ini bisa berakibat fatal,
sehingga bila dulu untuk menetapkan apakah seseorang masih hidup atau sudah
meninggal dunia biasa ditentukan dari apakah jantungnya masih bekerja atau
tidak, saat ini ditentukan oleh batang otaknya masih berfungsi atau tidak,
karena batang otaklah yang memerintahkan jantung.
Otak Reptil juga bertanggungjawab bagi pola perilaku khas
bawaan yang penting bagi pertahanan diri. Reaksi yang paling sering muncul
untuk mempertahankan hidup adalah tempur atau kabur (fight or flight). Perhatikan
bagaimana seekor ular saat mempersepsikan ada ancaman bagi hidupnya, reaksi
yang biasa muncul adalah menegakkan kepala siap untuk mematok (fight) atau lari
sipat kuping (flight). Perilaku makan dan reproduksi yang terkait dalam
kelangsungan hidup diri dan spesies, juga termasuk reaksi dari otak reptil.
Saat individu dikendalikan oleh Otak Reptilnya, ia pun biasa
bertindak secara refleks untuk mempertahankan hidupnya tanpa memikirkan secara
cermat apa yang akan dilakukannya. Ini biasa terjadi saat mereka berada dalam
keadaan darurat, bahaya, dan terdesak.
LIMBIC
SYSTEM
Setelah otak Reptil, bagian berikutnya yang berkembang dalam
evolusi otak adalah otak Paleomammalia. Otak ini terdiri dari sistem limbik
yang terkait dengan batang otak. Bagian otak ini berkembang pada awal masa
evolusi mamalia. Oleh karena itu, MacLean menyebutnya sebagai otak
Mamalia. Sistem limbik memegang peranan penting dalam emosi serta
motivasi. Otak ini juga bertanggungjawab atas pemelajaran dan memori. Dua
struktur yang paling penting dalam sistem limbik adalah amygdala dan
hippocampus.
Amygdala
Amygdala
Amygdala, yang berbentuk biji almond, membantu organisme
untuk mengenali apakah sesuatu atau situasi yang dihadapinya itu berbahaya atau
tidak, apakah sesuatu itu penting bagi kelang¬sungan hidup atau tidak, misalnya
apakah makanan ini boleh dimakan, apakah orang ini tepat untuk dijadikan
pasangan, apakah situasi ini bahaya bagi kita. Sebagaimana telah dijelaskan
sebe¬lumnya otak reptil saling berkaitan dengan otak mamalia. Sebuah contohnya
adalah otak reptil yang memerintahkan jantung bekerja sangat berkaitan dengan
bagian amygdala. Dalam keadaan relaks, sistem syaraf melakukan pengendalian
sehingga jantung berdenyut sebanyak 64-72 kali per-menit untuk lelaki dewasa
dan 72-80 kali per-menit untuk wanita dewasa. Pada saat berolah¬raga, atau
kondisi perasaan yang emosional atau tegang, jantung bisa berdenyut lebih cepat
(sumber).
Dalam aliran darah yang dipompa oleh jantung terdapat asupan
oksigen dan nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dan otak, sebaliknya
Amygdala di otak yang merespon situasi “menegangkan”, “berbahaya”, atau lainnya
yang ditangkap panca indera, akan menghasilkan zat kimia yang lalu dibawa oleh
darah ke jantung dan selanjutnya perasaan ini disalurkan ke seluruh tubuh.
Akibatnya seluruh tubuh bereaksi secara selaras terhadap pera¬saan
“menegangkan”, “sedih”, “cemas”, “terancam” atau lainnya.
Pada manusia amygdala membantu untuk memahami ekspresi dari
orang yang dihadapinya. Kerusakan pada amygdala akan membuat individu tidak
mampu berempati dengan orang lain. Oleh karena dalam berfungsi amygdala banyak
dipengaruhi oleh persepsi, maka amygdala dapat keliru memahami apabila
organisme menangkap tanda-tanda secara keliru saat menerima rangsangan dari
lingkungannya, kesalahan persepsi ini dapat menyebabkan¬nya mereka
menam¬pil¬kan perilaku yang tidak sesuai (King, 2011).
Bila amygdala rusak, individu mengalami kesulitan dalam
menangkap emosi yang signifikan dari setiap peristiwa. Kondisi ini
kadang-kadang disebut sebagai ‘buta afektif’ (Goleman, 1996). Orang yang
mengalami kerusakan pada amygdala atau yang dicabut amygdalanya sulit membaca
ekspresi orang lain maupun mengenali bahasa tubuh. Tentunya kesulitannya ini
dapat membawa akibat dalam hubungan antar manusia. Sulit baginya untuk memahami
ekspresi dan bahasa tubuh dari orang yang dihadapinya. Kemampuan membaca
ekspresi pembicaralah yang dapat membantu kita memahami maksud dari apa yang
disampaikan oleh pembicara sebenarnya, apakah ia bersungguh-sungguh atau sedang
bercanda atau bahkan sedang menyindir kita. Bahkan dalam bukunya Emotional
Intelligence, why it matters more than IQ, Daniel Goleman (1996) menceriterakan
bagaimana seorang pemuda yang diangkat amygdalanya (untuk mengendalikan
kejang-kejang yang dialaminya) walaupun masih memiliki kemampuan berbicara,
menjadi sama sekali tidak tertarik pada orang lain, lebih suka memisahkan diri
dari orang lain.
Hippocampus
Hippocampus memiliki peran khusus dalam ingatan (Bethus,
Tse, & Morris dalam King, 2011). Walaupun ingatan tidak tersimpan dalam
sistem limbik, hippocampus berperan penting dalam mengintegrasikan berbagai
rangsangan yang terkait serta membantu dalam membangun ingatan jangka panjang.
Selain itu, hippocampus dan daerah sekitarnya berperan penting dalam membentuk
ingatan mengenai fakta-fakta walaupun hanya mengalami sekali saja. Oleh karena
itu, hippocampus sangat penting peranannya dalam hidup, terutama dalam belajar.
Apa yang telah dipelajari dan diingat oleh individu inilah nantinya yang akan
turut mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi segala sesuatu, sehingga
merangsang amygdala memberi signal pada individu.
Bila otak reptil mengeluarkan perilaku refleks yang kaku dan
tidak berubah dari saat ke saat, otak mamalia menghasilkan perilaku yang lebih
luwes dan mengintegrasikan pesan dari dalam maupun dari luar tubuh. Oleh karena
itu perilaku yang ditampilkan dapat beraneka ragam, tergantung sistem limbik
ini berkolaborasi dengan siapa? …. otak reptilkah atau dengan neocortex yang
canggih.
NEOCORTEX
Periode evolusi terakhir dari otak menghasilkan neocortex
atau otak neomamalian. Neocortex adalah lapisan teratas yang mengelilingi otak
mamalia, dan hanya dimiliki oleh jenis mamalia. Reptil dan burung tidak
memiliki bagian otak ini. Walaupun neocortex juga dimiliki mamalia lain selain
manusia, pada manusia perbandingan ukuran neocortex dari keseluruhan otak
adalah yang terbesar. Pada manusia neocortex mencakup 80% dari otak bila
dibandingkan dengan pada mama¬lia lain yang umumnya hanya mencakup 30 sampai
40% dari keseluruhan otaknya (King, 2011).
Perbedaan luasnya neocortex ini mempengaruhi banyaknya
syaraf dan kompleksitas hubungan antar syaraf yang berkaitan dengan kemampuan
berpikir dari makhluk-makhluk tersebut. Berbeda dengan amygdala yang bekerja
dengan sistem intuitif yang primitif, neocortex bekerja dengan sistem analitis
yang lebih canggih. Sebagai hasil evolusi otak yang paling akhir, neocortex
mengendalikan keterampilan berpikir tingkat tinggi, nalar, pembicaraan, dan
berbagai tipe kecerdasan lainnya. Oleh karena itu bagian ini sering disebut
sebagai otak berpikir.
Saat menjumpai masalah rumit yang perlu dipecahkan dengan
pemikiran tingkat tinggi, neocortexlah yang paling cocok berfungsi. Besarnya
neocortex pada manusia membuat manusia mampu berpikir abstrak, transendens, dan
tidak terbatas pada hal-hal yang sedang dialami saat ini saja. Salah satu
kelebihan dari kemampuan berpikir ini membuat manusia dapat melakukan
introspeksi untuk mengenali dirinya serta membuat perencanaan untuk
mengembangkannya, sedangkan gajah, misalnya, mungkin tidak pernah sadar bahwa
dia adalah seekor gajah, apalagi memikirkan cara untuk menjadi gajah unggul.
Ketiga otak ini (triune brain) tidaklah bekerja secara
terpisah. Menurut MacLean (1990), ketiganya bekerja seperti tiga komputer
biologis yang saling berkaitan. Tentunya diharapkan otak reptil secara rutin
bekerja otomatis menjalankan fungsinya menjaga kelangsungan hidup, dan tidak
lengah dalam menggerakkan jantung agar memompa darah ke seluruh tubuh, atau
menggerakkan usus-usus dan seluruh alat pencernaan lainnya untuk mencerna
makanan yang kita makan. Namun dalam menghadapi masalah pelik, kita tentu
mengharapkan neocortex yang akan ‘memimpin’, memikirkan cara-cara terbaik untuk
memecahkan masalah tersebut.
Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan awal, Otak Reptil
berfungsi dalam mekanisme penyelamatan hidup (survival). Perilaku yang muncul
sebagai reaksi dari otak reptil ini muncul sebagai refleks-refleks pertahanan
diri. Pertahanan diri tanpa pikir panjang yang paling sering muncul dalam
perilaku adalah tempur (fight) atau kabur (flight).
Perilaku yang merupakan reaksi dari otak reptil, yang berupa
refleks-refleks instinktif dan tanpa dipikirkan masak-masak ini juga sering
kali muncul pada manusia. Reaksi ini dapat sangat membantu dalam keadaan
darurat, namun dapat pula justru mencelakai. Kita ambil contoh seorang ibu yang
menghadapi perampok bersenjata belati yang bertubuh tegap, Dapat saja tanpa
berpikir si ibu melawan (fight) perampok tadi padahal ia tidak memba¬wa senjata
dan juga tidak memiliki bekal ilmu bela diri. Perilaku ibu tadi ¬diri (dalam
hal ini sang perampok yang menunjukkan mekanisme pertahanan ‘kabur’ atau
flight), namun dapat juga membahayakan dirinya karena mungkin saja perampok
tidak menunjukkan mekanisme “kabur” melainkan ‘tempur’ dan tenaga serta
kemampuan bertempur perampok itu lebih unggul ketimbang ibu tadi.
Pernahkah Anda mengalami keadaan seperti ini? Biasanya
reaksi otak reptil ini tidak disadari, baru setelah keadaan reda (bila masih
selamat) individu menyadari betapa konyol tindakannya tadi yang sebenarnya
dapat membahayakan dirinya. Ini terjadi karena apa yang seharusnya dilakukan
oleh neocortex diambil alih oleh otak reptil.
Hal yang perlu diketahui adalah neocortex hanya dapat
betul-betul berfungsi bila sistem limbik berada dalam keadaan emosi terkendali.
Sebab saat amygdala menemukan situasi yang dipersepsi sebagai bahaya dan sistem
limbik tak dapat membuat organisme menjadi lebih nyaman, maka yang lebih sering
berperan adalah otak reptil dengan refleks-refleks pertahanan diri tanpa
memikirkan secara mendalam bagaimana keadaan sebenarnya dan tindakan apa yang
sebaiknya diambil. Padahal bila sistem limbik dapat menenangkan dan membuat
individu merasa nyaman, maka neocortex dapat berperan dengan segala
kecanggihannya untuk memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang
sebaiknya tidak dilakukan. Seperti pemegang kunci, sistem limbiklah yang akan
menetapkan ‘pintu’ mana yang akan dibuka. Pintu ke arah otak reptil atau
neocortex.
Sebagaimana dinyatakan MacLean, tiga serangkai otak ini
bekerja seperti tiga komputer biologis yang saling berkaitan. Dengan adanya
neocortex yang sangat besar pada manusia, yang membuatnya mampu berpikir
tingkat tinggi, diharapkan manusia lebih banyak menggunakan kemampuannya
berpikir tingkat tingginya dan tidak sering dikendalikan oleh otak reptilnya.
Oleh karena itu, sangat penting bagi sistem limbik untuk membuat organsime
nyaman, dan perlu untuk menjaga agar kesalahan amygdala dalam menilai situasi
dapat segera disadari dengan mengaktifkan neocortex dalam menilai dan
menyadarkan sistem limbik bahwa ada cara yang lebih tepat untuk mengendalikan
keadaan.
Manusia berbeda dengan hewan lainnya, tidak sepenuhnya
bergerak berdasarkan insting, langsung bereaksi begitu mendapat rangsangan.
Manusia mampu menunda reaksinya, mengambil waktu untuk member kesempatan bagi
neocortex berpikir dan menganalisis situasi. Memang mula-mula penundaan ini
membuat reaksi manusia acap terkesan lamban, namun dengan latihan menganalisis
dan berpikir kritis, lama kelamaan reaksi menjadi lebih cepat. Hal yang penting
diketahui adalah kesadaran akan pentingnya menunda reaksi demi menganalisis
situasi dengan lebih cermat. Beberapa cara untuk menenangkan diri adalah dengan
menghirup napas panjang beberapa kali, minum air putih, lalu menggunakan
kemampuan berpikir kritis untuk menganalisis situasi. Makin sering kita
menggunakan kemampuan analisis kita, semakin cepat kita mampu menganalisis
lingkungan dan situasi yang kita hadapi.
Dalam buku klasiknya, an Essay on Man, Cassirer (1944)
menguraikan bagaimana sejak zaman purba, manusia secara instinktif sudah
menyadari dan memiliki kecenderungan untuk mencari sesuatu yang lebih ‘besar’
daripadanya. Manusia memiliki kebutuhan untuk terhubung (connect) dengan
sesuatu yang lebih ‘besar’ dari dirinya. Pada orang-orang beragama ‘sesuatu’
itu biasa dimaksudkan sebagai Allah, Tuhan, Dewa dan lain sebagainya, sedangkan
bagi yang tidak beragama seringkali dikaitkan dengan alam semesta atau
kekuatan-kekuatan hebat lain yang ada. Berbeda dengan hewan lainnya, manusia
memang cenderung mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang terkait dengan
sesuatu yang lebih besar darinya, manusia memiliki kecenderungan dan kemampuan
berpikir melampaui dirinya (transendental).
Manusia mampu dan cenderung untuk mencari jawaban atas
berbagai hal besar dalam hidupnya. Untuk apa saya hidup? Bagaimana dan dari
apakah alam semesta ini terbuat? Dimanakah posisi saya dalam alam semesta yang
luas ini? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari kebutuhan pada manusia akan
pengalaman yang memiliki makna yang mendalam (deep meaning), tujuan serta nilai
yang bermakna. Ini semua membawa manusia pada pertanyaan yang lebih mendalam
dan bijak mengenai hidup serta akan berdampak pada berbagai keputusan serta
pengalaman hidupnya (Zohar, 2010).
Kecenderungan ini menunjukkan bahwa selain sebagai makhluk
individual dan makhluk sosial, pada dasarnya manusia juga merupakan makhluk
spiritual. Kecenderungan tersebut tidak akan mampu terjawab hanya melalui
kecerdasan (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) semata, ada kecerdasan ketiga yang memung¬kinkannya
yaitu kecerdasan spiritual. Oleh Zohar dan Marshall ini disebut sebagai
kecerdasan tertinggi.
Oleh Zohar kecerdasan spiritual didefinisikan sebagai :
…..Kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang
lain (Zohar dan Marshall; 2007; 4).
Kecerdasan ini erat kaitan dengan kehidupan keagamaan
walaupun tidak identik dengan keberaga¬ma¬an. Bisa saja ada orang yang beragama
namun memiliki kecerdasan spiritual yang tidak terlalu tinggi, ini sering
dijumpai pada orang yang menjalankan berbagai ritual keagamaan hanya sebagai
suatu kebiasaan dan keharusan, tanpa betul-betul menyadari, mencari atau
berusaha memahaminya secara mendalam penuh kesadaran. Sebaliknya bisa saja ada
orang yang tidak berargama secara formal, namun mereka menyadari bahwa dirinya
merupakan bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar (walaupun dalam pengertian
alam semesta), oleh karena itu perlu menjalani hidup sesuai bagi kepentingan
yang lebih besar dari sekedar dirinya sendiri. Dengan demikian untuk
menjalankan keagamaan dengan penuh kesadaran dan mendapatkan pemahaman agama
dibutuhkan kecerdasan spiritual namun kecerdasan spiritual sendiri tidak
menjamin seseorang beragama.
Titik Tuhan
Berkaitan dengan kecerdasan spiritual, para ahli neurologi
menemukan sebuah bagian dalam benak manusia yang sangat erat kaitannya dengan
pengalaman spiritual, bagian ini kemudian populer dengan sebutan Titik Tuhan.
Titik Tuhan ini terletak pada lobus temporal, bagian otak yang terletak tepat
di bawah pelipis. Berbagai percobaan menunjukkan pada saat seseorang beribadah
atau mempraktikkan tradisi agama dengan intens, atau sedang bermeditasi dengan
intens, atau seseorang memikirkan sesuatu yang sangat berarti dan bermakna
seperti masalah kemanusiaan yang luas daerah otak ini menjadi aktif.
Walalupun banyak ahli yang menyatakan bahwa titik Tuhan
tidak membuktikan Tuhan itu ada, namun sebetulnya ini juga tidak membuktikan
bahwa Tuhan tidak ada. Yang pasti bagian inilah yang memungkinkan manusia
berpikir jauh melampaui dirinya, berpikir transendental. Berpikir melampau
dirinya. Ini memungkinkan manusia berpikir mengenai. Pengembangan kecerdasan
spiritual di perguruan tinggi akan mencegah lulusan yang berpikiran sempit dan
hanya memikirkan masalah material dan mendapat pekerjaan saja, melainkan akan
menghasilkan manusia-manusia seutuhnya, manusia yang baik dan warganegara yang
efektif.
Secara populer orang yang inteligen sering disebut sebagai
orang yang cerdas, dan dikaitkan dengan kemampuan kognitif yang dimilikinya.
Dan kecerdasan inilah yang dianggap menjanjikan keberhasilan. Namun dalam
kehidupan sehari-hari sering dijumpai bahwa seorang yang cerdas tidak selalu
berhasil. Seorang yang sangat cepat memecahkan soal matematika atau memiliki
banyak pengetahuan namun dalam hidupnya tidak berhasil atau biasa-biasa saja.
Hal ini pada tahun 1970 -1980an menggugah beberapa ahli (Gardner, Salovey,
Mayer, Baron dalam Goleman, 1996) melakukan berbagai penelitian untuk menilai
apa yang berada dibelakang kegagalan ini. Berdasarkan berbagai penelitian tadi
Goleman (1996) mengajukan sebuah konsep yang segera menjadi sangat populer,
yaitu konsep kecerdasan emosi (emotional intelligence).
Dalam teorinya, Goleman (1996) menyimpulkan bahwa kecerdasan
atau inteligensi sebagai sebuah konsep yang terlalu sempit untuk menjelaskan
keberhasilan atau sukses. Sukses membbutuhkan lebih daripada sekedar cerdas
atau inteligen karena mengabaikan elemen perilaku dan karakter yang sangat
penting. Goleman mengajukan konsep kecerdasan emosi sebagai faktor yang lebih
menentukan keberhasilan ketimbang kecerdasan atau inteligensi. Kecerdasan
emosionallah yang memungkinkan kecerdasan atau inteligensi, yang bersifat
kognitif, berfungsi secara optimal. Orang dengan kecerdasan emosional yang
tinggi akan mudah mengarahkan kognisinya dalam berpikir dan memecahkan masalah.
Premis Goleman mengenai kecerdasan emosional adalah: untuk
berhasil, diperlukan kesadaran, pengendalian, dan penanganan yang efektif
terhadap emosi, baik emosinya sendiri maupun emosi dari orang lain yang
dihadapinya. Goleman (1996) menemukan lima domain dari kecerdasan emosi: yaitu
memahami emosinya sendiri, mengendalikan emosi, memotivasi diri sendiri,
memahami emosi orang lain, dan menangani hubungan dengan orang lain.
Mengenali perasaannya sendiri apa adanya atau kesadaran diri
adalah unsur penting dalam kecerdasan emosional. Bila individu tidak mampu
mengenali perasaannya, maka hidupnya akan dikendalikan oleh perasaannya,
sedangkan individu yang memahami perasaannya akan mampu mengarahkan hidupnya.
Banyak orang yang tidak memahami emosinya sendiri, karena keliru belajar pada
masa kecil. Orang tua bermaksud mengajarkan anak untuk meongontrol emosinya
(terutama mengontrol kemarahan), namun keliru menyampaikan bahwa: “Anak yang
baik tidak boleh marah.” Akibatnya individu terbiasa menahan atau menekan
kemarahannya bahkan menyangkal perasaan marah. Bila ini ter terjadi terus
menerus, sampai dewasa individu bisa kesulitan mengenali perasaannya. Akibatnya
banyak orang yang tidak sadar bahwa dia marah, atau terlambat menyadari
perasaan marahnya sampai kemarahannya sudah memuncak dan sulit dikendalikan.
Padahal marah itu alami dan yang perlu dilakukan adalah mengendalikan kemarahan
dan menyalurkan kemarahan dengan cara yang lebih dapat diterima. Terapi
relaksasi dalam bidang psikologi antara lain membantu individu menyadari saat
dirinya mulai merasa tegang dan tidak nyaman sedini mungkin.
Mengendalikan emosi serta mengarahkan penyaluran emosi agar
sesuai dan dapat diterima oleh lingkungannya merupakan kemampuan yang dibangun
berdasarkan kesadaran diri. Apabila individu cepat menangkap perasaan marahnya,
lebih mudah baginya untuk untuk mengen¬dalikan kemarahanya tersebut ketimbang
bila ia sudah terlanjur sangat amat marah. Kemampuan mengendalikan emosi akan
sangat membantu dalam mencegah reaksi spontan dari otak reptil dan memberi
kesempatan bagi neo cortex untuk memegang kendali. Setiap orang memiliki cara
tersendiri dalam mengendalikan emosinya, namun ada cara yang umum dianggap
dapat membantu. Menarik napas panjang dan minum air putih dianggap dapat
membantu penyediaan oksigen ke otak yang dapat meredakan hati. Beberapa cara
yang sering digunakan oleh orangtua atau guru dalam membantu anak meredakan
kemarahan adalah dengan menyuruhnya membilang angka secara perlahan, atau
bahkan menyuruh anak mandi dengan alasan akan membuatnya ‘sejuk’ biasa
dilakukan oleh orang tua. Mengekspresikan perasaan secara pantas merupakan
bentuk kecerdasan emosi ke dua. Cara mengekspresikan perasaan bersifat budaya,
sangat tergantung pada kebiasaan setempat. Bagaimanakah cara yang dianggap
pantas untuk mengekspresikan perasaan marah, sedih, gembira, takut dan malu
dalam budaya Anda?
Memotivasi diri sendiri adalah sebuah kemampuan yang sangat
diperlukan untuk dapat mengarahkan diri menuju sasaran. Seorang yang memiliki
kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri akan lebih tahan dalam menghadapi
berbagai kesulitan dalam hidup. Individu yang mampu memotivasi dirinya akan
setia pada tujuan, kesulitan tidak akan membuatnya berbelok dari tujuan¬nya.
Banyak penelitian dalam bidang pendidikan yang menemukan bahwa motivasi lebih
menentu¬kan prestasi belajar ketimbang kecerdasan, maka bila indi¬vidu mampu
memotivasi dirinya sendiri, ia akan terus mendapatkan energi untuk belajar
tanpa tergan¬tung pada dorongan dan dukungan dari orang lain. Dan kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri akan memung¬kinkan individu untuk menjadi pelajar
mandiri yang dapat terus mengembangkan dirinya seumur hidup.
Memahami emosi orang lain berkaitan dengan kemampuan empati.
Memahami emosi orang lain harus didahului oleh kemauan yang tulus, penerimaan
atas orang lain apa adanya, serta niat baik agar dapat menjalin hubungan yang
baik dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Memahami orang lain berarti
memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, serta diinginkan oleh orang tersebut,
dan kemam¬puan ini dapat dilatih. Untuk memastikan pemahaman menganai orang
lain ini tidak keliru, diperlukan keterbukaan dan upaya mendapatkan umpan balik
dari orang yang bersangkutan. Saat terjadi ‘benturan’ dengan orang lain,
usahakan untuk memikirkan apa kiranya yang dipikirkan orang tersebut, apa yang
dirasakannya, serta apa yang diinginkannya tanpa menggunakan ‘kaca mata’ kita
sendiri. Agar pemahaman kita lebih tepat mengenai emosi orang tersebut, kita
perlu mengenalnya lebih dekat.
Untuk dapat menangani hubungan dengan orang lain, ada banyak
keterampilan sosial yang perlu dilatih, seperti kemampuan mendengarkan secara
efektif dan kemampuan komunikasi yang efektif.
Bila kecerdasan lebih berkaitan dengan faktor kognitif, maka
kecerdasan emosional lebih berkaitan dengan faktor afektif. Sebagaimana
diketahui faktor afektif seringkali mempengaruhi faktor kognitif sehingga
kecerdasan emosional merupakan faktor motivasional yang akan mendorong atau
menghambat penggunaan seluruh kapasitas kecerdasan, atau menyebabkan individu
enggan atau tak mampu menggunakan kecerdasannya secara optimal. Namun Zohar
(2000) mengajukan pendapat bahwa baik IQ maupun EQ secara sendiri-sendiri
maupun bersamaan, tidak mampu untuk menjelaskan seluruh kompleksitas kecerdasan
manusia. Menurut Zohar (2000) dengan kedua kecerdasannya (IQ dan EQ), manusia
mampu memahami situasi dan menampilkan perilaku yang sesuai untuk
mengha¬dapi¬nya, namun dibutuhkan kecerdasan ketiga, yaitu kecerdasan
spiritual, untuk membuat manusia mampu melakukan transendensi.
Berbagai penelitian ilmu pengetahuan telah mengindikasikan
bahwa otak meregulasi perilaku. Broca (19..), misalnya, menemukan bahwa pasien
dengan gangguan pada bagian …… otaknya mengalami kesulitan bicara. Neuroscience
meneruskan tradisi penelitian ini. Disiplin ilmu ini menemukan antara lain
perilaku kreativitas, bermusik, matematika dan sebagainya merupakan hasil
aktivitas bagian otak tertentu. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat terjadi dan
semakin baik sebagai hasil belajar, dan proses belajar ini disebutkan merupakan
sebuah proses akibat fungsi inteligensi.
Mungkin akan lebih mudah bila kalau dianalogikan dengan
komputer. Sebagaimana diketahui komputer terdiri dari dua komponen; perangkat
keras dan perangkat lunak. Komponen kerasa adalah semua benda fisik komputer,
termasuk keping prosesornya. Perangkat keras ini kemudian diisi dengan dua
tingkat program (perangkat lunak). Pertama, program yang disebut sebagai sistem
operasi (operating system), misalnya: Windows 7, Linux, OS X. sistem operasi
merupakan program yang berisi aturan umum. Setelah sistem operasi diisi
(di-install) ke dalam komputer, kita dapat mengisinya dengan program tingkat
kedua yang disebut software. Software adalah program dengan fungsi khusus
seperti: MS Office Word untuk mengetik, Excel untuk membuat spreadsheet, Adobe
Photoshop untuk manipulasi arsip gambar, SPSS untuk analisis statistik dan
lain-lain.
Berdasarkan analogi tersebut, tubuh kita dapat diangaikan
sebagai komputer, otak adalah keping prosesor dan inteligensi adalah sistem
operasinya, yang memungkinkan kita meng-install berbagai kemampuan yang
memungkinkan munculnya berbagai tingkahlaku manusia, seperti menggubah drama
Romeo dan Juliet, membangun Borobudur, merumuskan E=mc2 dan lain sebagainya.
Dengan demikian sistem operasi –sistem aturan umum– yang memungkinkan semua
tingkah laku ini terjadi adalah inteligensi.
INTELIGENSI
DAN IQ
Inteligensi menjadi sangat populer dibicarakan sejak awal
abad ke duapuluh, sejak Alfred Binet dan Theodore Simon mengembangkan
pengukuran inteligensi modern pertama. Konsep inteligensi sendiri berpangkal
pada pandangan Darwin mengenai survival of the fittest, dimana spesies yang
bertahan adalah spesies yang memiliki kemampuan adaptasi yang terbaik. Maka
sejak saat itu banyak penelitian yang diarahkan pada kemampuan beradaptasi pada
manusia. Manusia yang unggul adalah manusia yang mampu beradaptasi dengan lebih
baik. Kemampuan beradaptasi inilah yang disebut sebagai inteligensi. Dalam buku
The Science of Psychology, King (2011) mendefinisikan inteligensi sebagai:
All-purpose ability to do well on cognitive tasks, to solve
problems, and to learn from experience.
King; 2011; 253
King; 2011; 253
Inteligensi dianggap sebagai kemampuan menggunakan kognisi
untuk memecahkan masalah dan beradaptasi dengan tuntutan lingkungan, yang
dipelajari dari pengalaman. Pengukuran inteligensi dilakukan mula-mula untuk
kepentingan merekut tentara, kemudian untuk kepentingan mendapatkan orang yang
tepat dalam pendidikan dan perusahaan. Hasil pengukuran inteligensi biasanya
disebut sebagai IQ (intelligence quotient). Kemampuan yang dianggap paling
penting untuk berhasil dalam bidang-bidang tersebut adalah kemampuan analisis.
Maka pengujian inteligensi saat itu umumnya berupa pengujian kemampuan
analisis.
Semula para ahli dalam bidang inteligensi menganggap hanya
ada satu macam inteligensi, dan satu kemampuan itu bertanggung jawab atas semua
keberhasilan individu. Pandangan ini umumnya beranggapan bahwa kemampuan
analitikal adalah kemampuan tunggal tersebut. Pandangan ini bertahan cukup
lama, dan berbagai seleksi untuk penempatan dalam bidang pendidikan umumnya
didasarkan pada kemampuan dalam bidang tersebut. Seseorang dianggap pandai bila
kemampuan analitikalnya tinggi. Pendidikan, pada umumnya, memang ditekankan
pada kemampuan analitikal, sehingga siswa-siswa yang berhasil biasanya memang
mereka yang memiliki kemampuan analitikal yang tinggi.
Pertanyaan yang seringkali muncul adalah mengapa seringkali
siswa yang unggul di sekolah, setelah terjun dalam masyarakat tidak lagi
menunjukkan keunggulannya, sebaliknya mereka yang tidak unggul dalam pendidikan
seringkali menunjukkan keunggulan dalam masyarakat. Sternberg menjelaskan
masalah ini bahwa kecerdasan tidak hanya satu macam. Menurut Sternberg, ada
tiga macam inteligensi yaitu Analytical Intelligence (Kecerdasan Analitikal),
Practical Intelligence (Kecerdasan Praktikal), dan Creative Intelligence
(Kecerdasan Kreatif). Inteligensi Analitikal banyak dirangsang di sekolah, oleh
karena itu yang untuk berhasil di sekolah siswa membutuhkan Kecerdasan
Analitikal, namun dalam kehidupan di masyarakat yang dibutuhkan adalah
Kecerdasan Praktikal. Bila sekolah tidak mengembangkan kecerdasan jenis ini,
maka sulit mengharapkan individu berhasil saat telah terjun dalam
masyarakat.
Sejak akhir abad duapuluh penelitian berbagai ahli yang
memusatkan perhatiannya pada masalah kecerdasan menemukan ada beraneka ragam inteligensi.
Seorang tokoh yang saat ini teorinya sangat populer adalah Gardner dari
Harvard. Gardner mengajukan teori Multiple Intelligence (Kecerdasan Majemuk).
Konsep kecerdasan menurut Gardner (1999) adalah kemampuan seseorang untuk
menciptakan produk/karya yang bernilai bagi masyarakatnya. Oleh karena itu
tidak hanya ada 1 macam Inteligensi. Dalam bukunya Frame of Mind, Gardner
(1983) mengajukan delapan macam kecerdasan yakni; kecerdasan linguistik,
matematik-logikal, spasial, kinestetik-jasmani, musikal, interpersonal,
iontrapersonal, dan naturalistik. Pada tahun 1999, dalam bukunya Intelligence
Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century, Gardner (1999) telah
menegaskan Naturalistik sebagai sebuah kecerdasan dan menambahkan secara
tentatif duakecerdasan loain: kecerdasan Eksistensial serta Spiritual.
Orang dapat sukses melalui kecerdasan yang berbeda, tidak
hanya melalui kecerdasan analitik saja. Kita mengenal orang-orang yang sukses
dalam bidang musik walaupun prestasinya di sekolah hanya pas-pasan saja
misalnya. Ada pula yang memiliki prestasi yang luar biasa di sekolah namun
selalu canggung dalam berhadapan dengan orang lain. Berpegang pada pendapat
inteligensi ganda paling tidak ada dua pilihan yang dapat ditempuh, fokus pada
kecerdasan yang menjadi kekuatan kita, seperti Anggun C. Sasmi yang sejak
sangat muda menetapkan untuk meninggalkan bangku sekolah dan fokus pada
pengembangan karirnya di bidang musik, atau justru berusaha mengembangkan
kemampuan-kemampuannya secara merata, termasuk kemam¬puan¬nya yang terlemah.
Idealnya saat anak masih sangat muda, saat belum terlihat kemam¬puannya yang
paling menonjol, sebaiknya diberikan berbagai macam rangsangan agar semua
kemampuannya dapat berkembang secara optimal, dan dapat dikenali letak kekuatannya.
Kemampuan berpikir manusia yang jauh melebihi kemampuan
hewan termasuk mamalia lainnya terutama merupakan kontribusi dari bagian luar
cerebral cortex. Walaupun mamalia lain juga memiliki cerebral cortex, namun
cerebral cortex pada manusia lebih tebal dua kali lipat dan memiliki funsi dua
kali lipat (Taylor, 2008). Cerebral cortex ini berkaitan erat dengan keutamaan
karakter Kebijaksanaan dan Pengetahuan. Khususnya mengenai kreativitas, kaitan
terdekat adalah dengan fungsi dan kerjasama antara dua belahan otak.
Sudah sejak sangat lama, yaitu zaman Mesir dan Cina kuno,
para tabib telah menyadari bahwa ada dua bagian otak yang mengendalikan
hemisfer tubuh secara silang. Bagian otak kanan mengendalikan hemisfer tubuh
kiri, sebaliknya bagian otak kiri mengendalikan hemisfer tubuh kanan. Bila kita
melihat orang yang lumpuh pada bagian tubuh sebelah kanan karena stroke
misalnya, sehingga tangan kanan tidak dapat digunakan dengan baik dan saat
berjalan kaki kanan diseret, dapat dipastikan bahwa otak kirinya mengalami
kerusakan. Sebaliknya bila kelumpuhan terjadi pada bagin tubuh kiri, dapat
dipastikan bahwa otak sebelah kanan yang mengalami kerusakan. Namun pada tahun
1960, Roger W Sperry, seorang ahli neuropsikologi dan neurobiology mengajukan
sebuah temuan penelitian yang menunjukkan bahwa selain mengendalikan hemisfer
tubuh secara silang, otak kiri dan kanan memiliki fungsi dan karakter yang
berbeda pula.
Belahan
Otak Kiri
Belahan otak kiri sangat dihargai oleh masyarakat termasuk
keluarga, karena dianggap paling berperan terhadap keberhasilan. Ini tidak
mengherankan karena memang pendidikan di sekolah memang banyak menuntut
aktivitas otak kiri serta penilaian didasarkan pada operasi tersebut.
Otak kiri memiliki spesialisasi dalam menghadapi masalah
sekuensial, analitikal, bahasa lisan, operasi aritmatika, penalaran dan operasi
rutin, (Sousa, 2003). Kemampuan-kemampuan di bidang tersebut sangat ditekankan
di sekolah. Individu yang bergerak di bidang sains dianggap memiliki kekuatan
pada belahan di otak kirinya. Mereka cenderung berpikir secara sistematis dan
taat pada aturan, namun kadang terlalu kaku.
Belahan
Otak Kanan
Belahan otak kanan sering dikaitkan dengan kreativitas
karena sifatnya yang bebas dan terlepas dari berbagai aturan serta kebiasaan
sehingga sering menemukan terobosan baru. Berbeda dengan otak kiri yang
sistematis, otak kanan bersifat heuristic. Sangat bebas
dan ‘melompat-lompat’, dan sangat berperan dalam menemukan ‘jalan’ baru
sehingga mampu membuat terobosan-terobosan baru. Otak kanan terutama berperan
dalam menghadapi masalah holistik, abstrak, bahasa tubuh, pencerahan, dan
operasi baru (Sousa, 2003). Seniman-seniman seringkali memiliki otak kanan yang
sangat kuat.
Kreativitas
Kreativitas
Otak kanan sering dianggap berperan pada terciptanya produk
kreatif, karena otak kanan memang penuh dengan gagasan baru. Namun karena
sifatnya yang bebas dan kurang taat pada aturan, seringkali gagasan hebatnya
tidak sampai menghasilkan terciptanya produk kreatif. Dibutuhkan otak kiri yang
lebih teratur untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, kreativitas dapat dikatakan
merupakan hasil kerjasama kedua belahan otak.
Biasanya orang memiliki salah satu otak yang dominan, namun
ada pula yang memiliki ke dua belahan yang sama kuatnya. Bila seorang unggul
memiliki kekuatan seimbang pada kedua belahan otaknya, maka mereka akan sampai
pada penemuan-penemuan besar. Contohnya, Leonardo da Vinci sang pelukis. Sebagai
seorang seniman tentu saja otak kanannya sangat kuat. Namun sebagai genius
serba bisa, Leonardo juga merupakan seorang ahli fisika, anatomi dan lain –
lain. Tidak heran bila beliau merupakan seorang yang sangat unggul (eminent).
Sebaliknya Einstein yang ilmuan, tentunya memiliki otak kiri yang unggul. Namun
kita tahu bahwa beliau adalah seorang pemain biola yang handal. Kerjasama kedua
belahan otaknya membawanya pada teori Relativitas yang mengagumkan.
Dengan demikian penting sekali usaha untuk mengaktifkan
kedua belahan otak tersebut. Secara umum pendidikan lebih mengutamakan otak
kiri, namun akhir-akhir ini bersamaan dengan makin majunya pengetahuan tentang
otak, otak kanan mulai mendapatkan perhatian. Bagi Anda dengan kecenderungan
otak kiri yang aktif, upayakanlah untuk mengaktifkan pula otak kanan Anda,
musik, seni dan olah raga adah cara-cara yang asyik untuk mengembangkannya.
Sebaliknya Anda dengan kecenderungan otak kanan yang aktif, berusahalah untuk
meningkatkan sistematika berpikir, berbagai latihan seperti yang biasa
dilakukan dalam belajar di sekolah dapat membantu Anda untuk berpikir lebih
sistematik.
Komentar
Posting Komentar